Rabu, 24 September 2014

Kehadiran putri istimewa...

Tanggal 27 Maret 2013 pukul 15.55 WIB, kudengar bayiku menangis, aku bersyukur Alhamdulillah bayiku menangis, karena kalau tidak menangis berarti ada masalah. Sebenarnya aku sangat ingin Inisiasi Menyusui Dini (IMD), tapi dokter Hartojo menyarankan untuk menundanya, karena kondisi bayiku ternyata tidak sepenuhnya baik. Dengan hari-hati dr Hartojo menjelaskan bahwa ada yang bising di suara jantungnya. Beliau juga bilang bahwa putriku sudah mempunyai 1 gigi mungkin karena terlalu banyak kalsium. Aku bisa memahami karena waktu hamil aku memang banyak mengkonsumsi kalsium dari 2 dokter.
Om Agus Priyono, suami adikku yang mengadzaninya setelah bayiku selesai dibersihkan. Saat aku di ruang recovery setelah operasi, suamiku baru datang dari Jakarta eteah bersusah payah mencari tiket dan bergegas dari bandara Juanda ke RSHU. Dia menemui saya dan sudah mengadzani bayi kami juga. Aku bertanya, bagaimana respon bayiku saat diadzani. Suamiku bilang responnya mencari, aku tidak tau memang betul mencari atau hanya tampak seperti mencari. Apabila memang mencari apa karena mendengar atau karena kulit telinganya merasakan bisikan. Yang jelas, saat itu aku bahagia atas kelahiran putri keduaku.

Selasa, 23 September 2014

Detik-detik sebelum kelahirannya...

Malam itu, tanggal 26 Maret 2013, masih 2 minggu sebelum hari perkiraan lahir (HPL), perutku terasa mulai tegang berkontraksi sepeti mau melahirkan. Masih jarang siy...Agak worry juga, karena suamiku sedang dinas di luar kota. Sebagai antisipasi, aku minta tolong adikku dan suaminya untuk menginap di rumah. Kali aja tengah malam nanti perlu ke rumah sakit. Siapa tahu??? Ternyata benar juga, malam itu aku sudah sulit tidur. Jam 3 pagi, aku ke kamar mandi dan sudah ada bercak darah salah satu tanda menjelang kelahiran.
Aku segera minta Mak Sari, emak yang sudah membantu mengurus rumah sejak kelahiran anak pertamaku Aira, untuk menyiapkan perlengkapan persalinan dan keperluan menginap di RS. Sebelumnya aku sudah menyiapkan perlengkapan bayi, perlengkapan ibu melahirkan dan baju-baju menyusui. Aku segera menelpon suamiku yang sedang di Jakarta untuk memberi tahu bahwa aku sudah mau berangkat ke RS karena sudah ada tanda-tanda akan melahirkan. Sebenarnya hari ini masih ada satu agenda tes lagi untuk seleksi penerima beasiswa tugas belajar dari Pertamina, perusahaan tempat suamiku bekerja. Dia memutuskan untuk segera mencari tiket untuk pulang ke Surabaya dengan resiko kehilangan kehilangan kesempatan mengikuti seleksi beasiswa itu.
Pukul menjelang pukul 6 pagi, aku minta adikku untuk mengantarku ke Rumah Sakit. Karena jarak cukup jauh dari Gresik ke Surabaya maka saya minta berangkat pagi-pagi untuk menghindari macet. Tidak lupa pengantar opname dari dr Didi juga aku bawa. Sesampainya di sana ternyata RS belum buka, sehingga harus lewat pintu belakang dan langsung ke lantai 10 untuk cek in kamar. Ternyata kamar kelas 1 yang menjadi hak inapku penuh, terpaksa masuk kelas 2 dulu, dimana ada pasien lain di kamar itu. Rasanya tidak nyaman, karena proses melahirkan melibatkan hal-hal yang sangat privacy.
Tapi tidak ada pilihan lain, karena siang hari rencananya akan ada kamar kelas 1 yang kosong. Sambil menunggu suamiku pulang dari Jakarta aku tunggu di kamar itu. Sampai siang hari kontraksinya sudah mulai sering, tapi suamiku belum juga datang. Dokter Didi memeriksa dan menanyakan apakah sudah siap untuk masuk kamar operasi. Aku bilang nunggu sebentar lagi dok, suami saya belum dating. Untunglah dr Didi sangat kooperatif dan saya dimina segera menghubunginya kalau sudah tidak kuat kontraksinya.
Suamiku baru dapat tiket untuk ke Surabaya untuk penerbangan jam 1 lebih itupun lewat calo (dengan nama orang lain). Padahal sudah mencari tiket dari pagi. Itu karena menjelang libur panjang maskapai banyak yang penuh. Padahal berapapun akan dibeli kalau ada tiket ke Surabaya lebih awal. Aku sudah mulai tidak kuat karena sudah kontraksi, padahal seharusnya tidak perlu nunggu kontraksi kalau rencana mau operasi. Akhirnya jam 1 aku minta ijin kepada suamiku untuk tidak lagi menunggunya jika memang sudah tidak kuat. Dan suamiku mengijinkan. Jam 2 aku memutuskan masuk ruang operasi. Dokter sempat bilang kok kuat sekali menunggu terlalu lama kontraksi. Meskipun sudah di kamar operasi, dr Didi sempat menyampaikan akan membantu persalinan normal jika memungkinkan. Akan tetapi setelah diperiksa intensif dokter memutuskan untuk tetap melaksanakan operasi itu.
Sakitnya kontraksi langsung hilang berganti perasaan ringan dan tenang setelah aku disuntik bius di punggung. Dalam hati, aku berdoa dan tidak berhenti berdoa agar operasi itu lancar, dan bayi yang kulahirkan sehat dan selamat.

Persiapan menyambut kehadirannya...

Memilih dokter dan rumah sakit dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan adalah realitas yang harus dihadapi. Aku mencari informasi tentang beberapa Rumah Sakit di Surabaya untuk mempersiapkan kelahiran anak keduaku yang istimewa. Banyak hal yang harus kupertimbangkan. Kenapa? Karena kehamilan kedua ini sungguh istimewa. Apa berarti kehamilan pertama saya tidak istimewa? tentu saja sama-sama istimewa. Karena hal sama juga kulakukan untuk kelahiran pertamaku, yang berbeda adalah dasar pertimbangannya.
Untuk persalinan kedua ini aku memilih untuk melahirkan dengan operasi caesar, tentu saja atas rekomendasi dari dokter yang menanganiku. Alasannya karena jarak dengan kelahiran pertamaku yang juga dengan caesar adalah belum 4 tahun. Sebenarnya aku bisa menyangkal Karena banyak juga orang-prang lain yang selisih kelahirannya belum 4 tahun tetapi bisa melahirkan dengan normal. Tapi aku sangat sadar dengan kondisi kehamilan keduaku ini yang tidak bisa disamakan dengan orang lain. Aku sangat mempertimbangkan hal itu.
Jauh di lubuk hatiku ingin juga melahirkan dengan proses normal, tapi keselamatan bayiku tentu saja prioritas yang lebih utama dibandingkan ego keibuanku yang belum tentu baik untuknya.
Kriteria pertamaku dalam memilih RS di Surabaya adalah fasilitas pelananan kesehatan untuk kondisi darurat. Ketersediaan instalasi NICU (Neonatal Intensive Care Unit) di RS menjadi salah satu kriteriaku. Fasilitas ini biasanya ada di Rumah Sakit besar. Fasilitas lain yang juga persyaratanku adalah skrining bayi risiko tinggi minimal untuk risiko dampak rubella saat kehamilan, yaitu pemeriksaan jantung, mata dan pendengaran. Kemudian aku perlu berkompromi dengan jaminan perusahaan yang bisa diberikan oleh perusahaan tempat suamiku bekerja.
Dari hasil penelusuranku melalui internet dan telpon ke bagian pelayanan masing-masing RS, ternyata dari beberapa RS yang menjadi mitra perusahaan suamiku, yang sudah ada fasilitas pemeriksaan mata Ret-cam adalah di RS Husada Utama. Lalu aku cek juga fasilitas pemeriksaan yang lain seperti pemeriksaan pendengaran dengan OAE dan pemeriksaan jantung dengan Echocardiography ternyata dapat dilakukan di sana. Akhirnya saya memantapkan hati untuk melahirkan di rumah sakit itu. Sayangnya, di akhir kehamilanku mulai awal tahun 2013 dr Frans sudah tidak berpraktek di sana, sehingga tidak dapat membantu proses persalinanku. Begitupun Prof. Agus. Aku terpaksa mencari dokter lain yang berpraktek di HU. Di antara beberapa dokter di HU aku memilih dr Didi Darmahadi Dewantoro, SpOG, yang merupakan Home Doctor di sana. Sebelumnya sudah kutelusuri testimony tentang beliau, cukup menguatkan. Paling tidak home doctor pasti akan lebih banyak standby di RS dan lebih mudah ditemui disana. Begitu juga dengan dokter anak yang akan menangani bayiku. Di sana ada dr Hartojo, SpA(K) yang berdasarkan testimony teman-temanku bagus. Dia juga konsern ke perawatan bayi resiko tinggi di instalasi NICU. Di sana juga ada dr Mahrus SpA(K) yang merupakan dokter anak yang pakar dalam menangani masalah jantung anak.
Mantap sudah keputusanku dalam memilih Rumah sakit. Suamiku mengamini dan segera berkonsultasi dengan dokter perusahaan untuk mekanismenya.