Jumat, 29 Agustus 2014

USG 4 Dimensi, semua terindikasi normal kecuali.......

Saat yang dinanti pun tiba, kehamilan ini sudah berumur 20 minggu. Aku menemui dr Frans di Total Life Clinic (TLC) di Jl Bogowonto, Surabaya untuk melakukan pemeriksaan terhadap kondisi janin. Sesuai anjurannya, alat USG 4 Dimensi di klinik ini menurutnya lebih baik dan beliau sendiri yang akan memeriksanya. Setelah antri berjam-jam, barulah dipanggil untuk pemeriksaan.
Pemeriksaan berlangsung sekitar 45 menit – 1 jam. dr Frans sangat detil memeriksa sembari menjelaskan tentang kondisi janin. Beliau memeriksa jantung, kondisinya normal, tidak ada kelainan yang tampak baik susunan maupun fungsinya. Lensa mata juga bersih, tidak ada indikasi katarak. Secara fisik, kondisi janin sempurna, tidak ada indikasi adanya kelainan bawaan. Dokter Frans juga memberitahukan bahwa bayi ini berjenis kelamin perempuan.
Dokter Frans bilang kondisi janin secara umum baik, jadi aku tidak perlu khawatir. Perkembangannya normal sesuai umurnya. Jantung dan mata bisa tidak menunjukkan indikasi kelainan. Hanya saja memang keterbatasan alat ini tidak dapat mendeteksi fungsi pendengaran. “Kalau organ telinga luarnya ada, tapi fungsinya kita belum bisa mengetahui” kata dokter Frans.
Sejak saat itu pencarian informasi yang kulakukan lebih fokus tentang penanganan gangguan pendengaran yang merupakan kemungkinan terburuk yang mungkin dialami oleh bayiku kelak. Aku memperoleh banyak artikel tentang gangguan pendengaran dan penanganan dininya. Saat itu aku mengetahui ada alat bernama cochlear implant. Bahwa ternyata sudah ada alat yang dapat membantu saat Alat Bantu Dengar sudah tidak lagi bermanfaat. Aku juga mempelajari aturan-aturan perusahaan terkait penanganan gangguan pendengaran. Semua itu membuatku semakin optimis menjalani kehamilanku, menanti kelahiran putri keduaku yang akan kami beri nama Almahyra.

Rabu, 27 Agustus 2014

Benarkah Rubella saat hamil tidak bisa diobati???

Rasanya tidak percaya, demam ringan yang tidak bisa dikatakan serius disertai ruam yang hanya sehari yang tidak begitu parah itu ternyata adalah campak jerman. Aku hampir tidak merasakan sakit. Tetapi membaca artikel tentang dampak yang mungkin ditimbulkan begitu mengerikan. Aku baca juga bahwa sampai sekarang belum ada obat untuk rubella yang aman diberikan pada saat hamil. Aku memerlukan penjelasan yang lebih mendalam terkait hal ini. Benarkah aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah virus ini memyerang janin yang sedang kukandung. Akhirnya aku berkonsultasi dengan dr Naning, dokter klinik perusahaan tempat aku bekerja, untuk mencari referensi dokter yang pakar dalam permasalahan ini. Dia menyarankan aku untuk ke dokter SpOG yang subspesialisasinya adalah Bidang Fetomaternal. Dia berjanji untuk memberikan nama dokter yang sesuai dalam beberapa hari. Sebagai orang awam aku mempercayakan masalah ini padanya.
Selang beberapa waktu dia memberikan nama dokter yang dia janjikan. Namanya adalah dr. Frans. Dokter Frans bukan orang asing bagi dr Naning karena merupakan teman kuliahnya dulu. Menurutnya, dr Frans adalah dokter yang cerdas dan sangat teliti. Dan memang benar terbukti dari beberapa kali sesi konsultasi dan pemeriksaan. Konsultasi pertama dengan dr Frans, di RS Husada Utama Surabaya. Beliau ada jadwal praktek sore setelah maghrib. Pada jam kerja, beliau berdinas tetap di RSAL Surabaya. Dengan mempertimbangkan jadwal kerjaku yang selesai jam 4 setiap hari, aku memilih untuk berkonsultasi di RS Husada Utama. Dengan hati-hati beliau menjelaskan tentang kondisi yang mungkin terjadi terhadap janin yang terserang rubella dalam kandungan pada trimester pertama kehamilan. Memang persentasenya secara medis sangat besar. Dokter Frans menjelaskan dengan sangat objektif. Aku tidak merasa ditakut-takuti, tapi juga tidak diberi harapan yang terlalu tinggi. Beliau mengatakan jika terinfeksi rubella pada kehamilan trimester pertama, maka kemungkinan besar janin yang ada dalam kandungan akan terdampak infeksi virus tersebut. Dampak yang paling sering muncul adalah pada trias rubella yaitu kelainan jantung, mata dan pendengaran.
Aku mengajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan kepada dokter sebelumnya. Apakah ada yang bisa kulakukan agar janin dalam kandunganku tidak terdampak oleh virus rubella. Atau mungkin sudah ada teknologi untuk mendeteksi dan mencegah penularan rubella ibu hamil kepada janinnya. Jawabannya ternyata sama saja. Dia hanya mengatakan dampak itu nanti bisa terlihat setelah bayi berusia 20 minggu, pada saat proses pembentukan organ itu telah sempurna. “Nanti bisa dilihat melalui USG 4 dimensi” imbuhnya.
Sampai saat ini, belum ada obat atau anti virus yang bisa menghentikan serangan rubella terhadap janin dalam kandungan. Anti virus yang ada memiliki dampak yang sama seriusnya dengan dampak rubella terhadap janin dalam kandungan. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah memonitor terus perkembangan janin secara rutin untuk memastikan janin tumbuh sebagaimana seharusnya sesuai umur kehamilan. Yang paling membuatku terkesan pada dr Frans adalah saat beliau mengatakan kepadaku tentang sesuatu yang belum sempat kupikirkan. “Bapak dan Ibu adalah muslim, tentunya percaya dengan takdir Tuhan. Jangan pernah berpikir untuk menghentikan kehamilan ini, karena janin ini sudah memiliki nyawa yang punya hak untuk hidup.” Begitu kira-kira nasihat dr Frans, naluriku dengan serta merta membenarkannya, meskipun aku pernah tau di beberapa negara telah melegalkan aborsi karena rubella.
Dokter Frans memeriksa kondisi kandunganku. Semua aspek yang penting diukur dan dievaluasi dengan alat Ultrasonography (USG). Ukuran, berat dan denyut jantung tidak lupa diperiksanya. Kesimpulannya perkembangan janin sampai saat ini normal, dan akan terus dipantau setiap bulannya. Aku bertanya, apakah cukup kontrol kehamilan sebulan sekali seperti hamil normal dengan kondisi seperti ini? dr Frans mengatakan cukup.
Aku tidak ingin lengah dengan virus jahat ini, selepas bertemu dengan dokter Frans aku masih mencari dokter pakar yang lain. Setelah beberapa lama googling di internet dan Tanya sana sini kepada orang yang memiliki masalah pada kehamilannya, aku menemukan nama Prof. Dr. dr Agus Abadi SpOG(K) yang berpraktek di Jl. Diponegoro, Surabaya. Setelah mendapatkan jadwal prakteknya, aku mendatangi Prof Agus untuk berkonsultasi. Beliau sudah terlihat sepuh mungkin lebih dari 65 tahun. Tutur katanya halus seperti orang Jogja atau Solo. Beliau konsultan yang sangat supportif dan menenangkan. Dengan sangat meyakinkan beliau memberiku penjelasan dan argumen-argumen yang memotivasiku, bahwa tidak selayaknya virus ini ditakuti. Karena memang tidak ada pengobatan yang bisa dilakukan terhadap virus ini, maka yang bisa dilakukan oleh seorang ibu yang hamil dengan virus ini harus kuat. Jangan mau kalah dengan virus ini. Beliau menghitungkan probabilitas seorang janin yang ibunya terinfensi rubella di trimester pertama kehamilannya. Menurutnya persentasi bayi lahir dengan kelainan karena rubella adalah 2 % saja. Angka itu beliau dapatkan setelah menghitung probabilitas berapa persen janin itu tertular , berapa persen janin itu terdampak dari penularan dan berapa persen janin itu dapat bertahan hidup dengan virus. Banyak virus lain yang dampaknya dilaporkan lebih mengerikan dari rubella.
Tidak berbeda dengan apa yang disampaikan dr Frans, beliau memotivasiku untuk kuat dan tetap tenang dalam melawan virus ini. “Tidak mudah menjadikan seseorang itu terlahir cacat, yang disengaja saja sulit, apalagi yang tidak disengaja seperti ini” imbuhnya. Pelajaran yang saya ambil dari Prof Agus adalah bahwa Allah lah Tuhan yang sepenuhnya mengatur kehidupan dan kematian manusia. Jika memang anak ini diciptakan untuk hidup pasti akan bertahan. Tapi jika tidak, janin itu akan luruh dengan spontan. Begitu seterusnya, aku mendatangi dr Frans dan Prof Agus setiap bulan masing-masing selang 2 minggu. Pengukuran objektif aku dapatkan dari dr Frans yang memang seorang sonographer dan motivasi aku dapatkan dr Prof Agus Abadi. Semua semata-mata hanyalah untuk meyakinkan kondisi janin termonitor dengan baik.
Sejak saat itu, kuputuskan untuk menjalani kehamilan ini dengan apa adanya, dengan keyakinan penuh bahwa tidak ada yang bisa menghalangi kehendak Allah SWT. Melaksanakan hanya yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang tua yang dititipi anak olehNya, berusaha sebaik mungkin mempersiapkan segala kemungkinan, termasuk kemungkinan terburuk.

Selasa, 19 Agustus 2014

Menemui Dokter Kedua...

BINGUNG !!! itulah yang kurasakan. Berkombinasi dengan sedih dan galau, benar-benar cukup membuatku hampir frustasi. Semakin banyak mengakses informasi tentang dampak rubella semakin stress yang kurasa. Aku masih tidak terima dengan vonis dokter yang hanya berdasarkan hasil equivocal (walaupun logika saya membenarkan penjelasannya). Aku putuskan untuk mencari pendapat dokter-dokter lain. Dokter itu harus lebih pintar daripada dokter Maya, pikirku. Saya mendatangi dokter Vita Maya, SpOG yang dulu menangani anak pertamaku, di RS Semen Gresik sela 2 hari dengan membawa hasil lab sebelumnya.
Saat mengantri dokter Vita, aku ketemu sama teman kantor yang hebis melahirkan di RS itu yang akan menengok bayinya yang masih harus tinggal di RS. Bayinya didiagnosis mengalami Down Syndrome dan ada kelainan jantung. Sontak aku jadi teringat dampak yang mungkin ditimbulkan oleh virus Rubella. Congenital Rubella Syndrome (CRS) begitu nama syndrome yang disebabkan oleh virus jahat itu. Organ yang paling sering diserang adalah jantung, mata dan pendengaran. Selain itu ada yang mengalami gangguan motorik dan juga mental. Waduh…tambah hancur rasanya hati ini..
Kudatangi bayi mungil itu..tumpahlah air mata ini melihatnya dibalik jendela kaca. Aku tidak menangis karena dia, karena aku betul-betul melihat ketabahan dan kebesaran jiwa kedua orang tuanya. Mamanya yang temanku itu bilang “jangan menangis tante… Z anak sehat dan pintar. Jangan menangis.” Begitu katanya… Mungkin dia tidak tahu, sebenarnya aku menangisi diriku sendiri, yang bisa jadi akan melahirkan anak yang berbeda dengan anak-anak yang lain. Berbeda, yang kini kuartikan sebagai istimewa.
Sambil tetap berurai air mata aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju klinik dokter Vita. Tidak lama setelah aku sampai dipanggillah antrian ke 10 atas namaku. Aku didampingi dokter perusahaan yang sudah kubuat janji untuk bertemu disana. Saat kutunjukkan hasil lab, enteng saja dokter itu bilang “tidak ada masalah apa-apa, hasil labnya bagus semua.” Ha????!!! Bukannya kegirangan, aku malah merasa aneh dengan penjelasan dokter itu. Bagaimana mungkin dua dokter membaca hasil yang sama dengan pandangan yang berbeda 180 derajad? Padahal sudah aku jelaskan kalau sempat muncul ruam dan saat itupun masih ada pembesaran kelenjar di belakang telinga yang mengindikasikan masih ada infeksi itu. Tentu saja aku tidak bisa membantah kata dokter, sehingga aku tanyakan apa perlu untuk tes lab ulang. Dia tidak terlalu menyarankan, tetapi dengan bantuan dokter perusahaan yang meyakinkannya, dia mau memberi pengantar laboratorium. Dalam hati, aku berkata "aku akan mencari dokter lain yang penjelasannya lebih bisa diterima oleh hati dan nalarku."

Senin, 18 Agustus 2014

Momok itu bernama Rubella...

Sore itu, sekitar awal bulan September hampir dua tahun yang lalu. Saat usia kehamilan 9 minggu, kondisiku memang masih lemah, mual yang hebat dan muntah-muntah adalah hal yang biasa di awal kehamilanku. Begitupun saat hamil anak yang kedua ini. Mual dan muntah karena kehamillan pun belum juga berkurang.
Suamiku pulang kerja dengan raut yang berbeda, wajahnya tampak memerah dan tampak kurang sehat. Hari sudah petang, sehingga tidak terlalu banyak waktu untuk bercerita tentang pengalaman seharian di kantor. Kami memang sama-sama bekerja di perusahaan milik pemerintah. Kami tinggal di Gresik, karena kantorku di kota ini. Sedangkan suamiku yang harus menempuh perjalanan sekitar 1 jam ke Surabaya setiap hari untuk ke kantornya. Namun itu sudah sangat kami syukuri, karena sebelumnya kami terpaksa harus menempuh pernikahan jarak jauh Gresik – Medan. Dia mengeluh kurang enak badan. Kupegang keningnya ternyata memang agak panas, lalu kusarankan untuk segera beristirahat. Aku segera menyusul untuk segera tidur disampingnya seperti biasa. Pagi hari, dia sudah siap-siap berangkat kerja, karena merasa sakitnya tidak parah dan masih bias ditahan. Tapi kemudian aku perhatikan wajahnya masih merah padam karena kulitnya memang agak gelap. Kulihat tangan dan lengannya merah, punggungnya pun begitu. Ada bintik-bintik yang mengelompok…lebih tepat disebut ruam. Aku segera menyarankan untuk ke dokter nanti setibanya di kantor. Dia mengiyakan.
Setelah suamiku berangkat kerja, giliranku mulai bersiap-siap berangkat ke kantor, saat aku mau mandi aku lihat di pahaku ada ruam yang mirip dengan suamiku itu. Hanya saja lebih tampak karena kulitku lebih terang. Tidak terlalu banyak memang, sehingga ku masih tidak berpikir apa-apa. Aku beraktivitas seperti biasa, dengan rutinitas muntah di pagi hari saat mandi. Sampai di kantor aku merasa kurang enak badan. Memang suhu badanku agak sumer (sedikit panas) dan semakin lama ruam di kulitku bertambah banyak. Ruam itu bertambah di tangan. Di lengan dan di paha juga bertambah banyak. Tiba-tiba aku teringat pernah baca tentang bahaya campak pada saat hamil. Hanya saja waktu itu aku belum tahu detil apa saja bahayanya. Segera aku putuskan ke dokter di klinik perusahaan.
Dokter curiga terhadap ruam merah di kulitku. Dia menduga bahwa itu adalah campak. Namun karena banyaknya jenis campak dia belum bisa memastikan secara spesifik dan menyarankan aku untuk memeriksakan darah ke laboratorium. Dia tidak memberiku obat maupun anti virus karena menurutnya kurang baik untuk kehamilanku. Baiklah, aku putuskan untuk mengunjungi dokter spesialis kandungan yang ada jadwal di malam harinya sekaligus memeriksakan darah di RS Rachmi Dewi. Maya Sri K, dr, SpOG. Begitu nama dokter yang berpraktek malam itu. Sang dokter mengernyitkan dahi, agak sedikit marah..”kok bisa sampai kena campak begini? “ tanyanya. Aku bilang suamiku juga kena sehari sebelumnya. Dokter curiga bahwa campak itu adalah campak jerman. Momok bagi ibu hamil yang biasa dipanggil RUBELLA. Kemudian, dia beri pengantar laboratorium untuk tes IGG dan IGM rubella.
Selang sehari setelahnya, aku kembali mengunjungi dokter Maya untuk mengkonsultasikan hasil laboratorium yang akan kuambil. Kuamnil dulu hasil laboratoriumnya, kemudian antri untuk konsultasi. Karena penasaran, diam-diam aku buka hasil labnya. Dan….hasilnya adalah IGG rubella negative, sedangkan IGMnya equivocal. Waduh..apa ini maksudnya? Aku juga tidak tahu. Sambil antri aku coba browsing tentang makna equivocal dalam hasil cek darah. Ternyata equivocal adalah nilai tengah-tengah. Tidak positif tapi juga tidak negative. Aku tambah penasaran bagaimana nanti dengan penjelasan dokter nih.. Deg-degan juga karena (menurut logika yang sok tauku), berarti virus itu ada ditubuhku walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak.
Setelah antri berjam-jam akhirnya dipanggil juga. Dan ternyata analisa ngawurku ga salah-salah amat. Menurut dokter memang betul ada virus rubella di tubuh saya. IGG menunjukkan kekebalan terhadap virus rubella dari infeksi yang lampau. Hasil negative pada IGG ini menunjukkan aku belum memiliki kekebalan terhadap virus itu. Sedangkan IGM menunjukkan infeksi yang sedang terjadi saat ini dan masih menunjukkan hasil equivocal. Menurut dokter nilai IGM ini mungkin akan meningkat karena saat ini virus masih dalam masa inkubasi. Aku langsung shock mendengarnya. Dokter itu seperti sedang menakut-nakutiku, dan perasaanku ingin menyangkalnya. Aku bertanya apakah perlu dites ulang, atau ada yang bisa kulakukan. Dokter Maya bilang tidak ada. Lemas rasanya. Seperti tidak punya harapan, satu-satunya harapan yang masih sedikit tersisa adalah berharap bahwa hasil tes itu tidak benar. Walaupun aku tau itu lebih banyak merupakan penyangkalan.

Jumat, 15 Agustus 2014

akhirnya aku mulai menulis...

Aku adalah seorang ibu dari seorang putri cantik yang tidak dapat mendengar di awal kehidupannya. Almahyra Shanum Kirani, adalah putri keduaku yang terlahir istimewa, lahir dengan gangguan pendengaran sangat berat pada kedua telinganya karena virus rubella saat di kandungan. Sebenarnya itu bukan alasan. Karena alasan sebenarnya adalah Tuhan ingin menjadikannya pendidikan yang berharga bagi orang tuanya. Rubella hanyalah caraNya menjadikannya demikian.
Sebenarnya, sudah lama sejak kelahirannya aku ingin menulis tentang perjalanan yang berharga ini. Namun baru kali ini aku punya waktu dan pikiran yang cukup longgar untuk menulis. Aku ingin berbagi tentang pengalaman yang tidak semua orang diberi kesempatan untuk merasakannya, yaitu memiliki anak dengan gangguan pendengaran sangat berat, yang sejak umur satu tahun lebih dua hari harus menggunakan alat cochlear implant untuk dapat membantunya mendengar dunia.
Walaupun kejadian-kejadian mula di blog ini sudah terjadi lebih dari setahun yang lalu, aku masih bisa mengingat hampir setiap detilnya. Rasanya memang tak mungkin untuk dilupakan, karena pengalaman-pengalaman ini sungguh istimewa. Aku menyimpannya di folder-folder otakku, yang kemudian kuberi judul : Menembus Sunyi Almahyra.
Aku ingin, suatu saat jika sudah besar nanti putriku akan menemukan catatan-catatan ini. Dia akan tau bahwa dia begitu dicintai, bahkan sejak sebelum dia dilahirkan. Walaupun tanpa membaca catatan ini pun, dia pasti akan tau karena itu akan sangat terasa dalam keseharian.
Untuk putri cantikku yang pertama, Aira...kamu tidak perlu iri dengan catatan ini. Karena pengalaman membesarkanmu sungguh tak kalah istimewanya dari ini. Melihatmu begitu menyayangi adikmu, adalah kebahagiaan yang luar biasa bagi Bunda