Senin, 18 Agustus 2014

Momok itu bernama Rubella...

Sore itu, sekitar awal bulan September hampir dua tahun yang lalu. Saat usia kehamilan 9 minggu, kondisiku memang masih lemah, mual yang hebat dan muntah-muntah adalah hal yang biasa di awal kehamilanku. Begitupun saat hamil anak yang kedua ini. Mual dan muntah karena kehamillan pun belum juga berkurang.
Suamiku pulang kerja dengan raut yang berbeda, wajahnya tampak memerah dan tampak kurang sehat. Hari sudah petang, sehingga tidak terlalu banyak waktu untuk bercerita tentang pengalaman seharian di kantor. Kami memang sama-sama bekerja di perusahaan milik pemerintah. Kami tinggal di Gresik, karena kantorku di kota ini. Sedangkan suamiku yang harus menempuh perjalanan sekitar 1 jam ke Surabaya setiap hari untuk ke kantornya. Namun itu sudah sangat kami syukuri, karena sebelumnya kami terpaksa harus menempuh pernikahan jarak jauh Gresik – Medan. Dia mengeluh kurang enak badan. Kupegang keningnya ternyata memang agak panas, lalu kusarankan untuk segera beristirahat. Aku segera menyusul untuk segera tidur disampingnya seperti biasa. Pagi hari, dia sudah siap-siap berangkat kerja, karena merasa sakitnya tidak parah dan masih bias ditahan. Tapi kemudian aku perhatikan wajahnya masih merah padam karena kulitnya memang agak gelap. Kulihat tangan dan lengannya merah, punggungnya pun begitu. Ada bintik-bintik yang mengelompok…lebih tepat disebut ruam. Aku segera menyarankan untuk ke dokter nanti setibanya di kantor. Dia mengiyakan.
Setelah suamiku berangkat kerja, giliranku mulai bersiap-siap berangkat ke kantor, saat aku mau mandi aku lihat di pahaku ada ruam yang mirip dengan suamiku itu. Hanya saja lebih tampak karena kulitku lebih terang. Tidak terlalu banyak memang, sehingga ku masih tidak berpikir apa-apa. Aku beraktivitas seperti biasa, dengan rutinitas muntah di pagi hari saat mandi. Sampai di kantor aku merasa kurang enak badan. Memang suhu badanku agak sumer (sedikit panas) dan semakin lama ruam di kulitku bertambah banyak. Ruam itu bertambah di tangan. Di lengan dan di paha juga bertambah banyak. Tiba-tiba aku teringat pernah baca tentang bahaya campak pada saat hamil. Hanya saja waktu itu aku belum tahu detil apa saja bahayanya. Segera aku putuskan ke dokter di klinik perusahaan.
Dokter curiga terhadap ruam merah di kulitku. Dia menduga bahwa itu adalah campak. Namun karena banyaknya jenis campak dia belum bisa memastikan secara spesifik dan menyarankan aku untuk memeriksakan darah ke laboratorium. Dia tidak memberiku obat maupun anti virus karena menurutnya kurang baik untuk kehamilanku. Baiklah, aku putuskan untuk mengunjungi dokter spesialis kandungan yang ada jadwal di malam harinya sekaligus memeriksakan darah di RS Rachmi Dewi. Maya Sri K, dr, SpOG. Begitu nama dokter yang berpraktek malam itu. Sang dokter mengernyitkan dahi, agak sedikit marah..”kok bisa sampai kena campak begini? “ tanyanya. Aku bilang suamiku juga kena sehari sebelumnya. Dokter curiga bahwa campak itu adalah campak jerman. Momok bagi ibu hamil yang biasa dipanggil RUBELLA. Kemudian, dia beri pengantar laboratorium untuk tes IGG dan IGM rubella.
Selang sehari setelahnya, aku kembali mengunjungi dokter Maya untuk mengkonsultasikan hasil laboratorium yang akan kuambil. Kuamnil dulu hasil laboratoriumnya, kemudian antri untuk konsultasi. Karena penasaran, diam-diam aku buka hasil labnya. Dan….hasilnya adalah IGG rubella negative, sedangkan IGMnya equivocal. Waduh..apa ini maksudnya? Aku juga tidak tahu. Sambil antri aku coba browsing tentang makna equivocal dalam hasil cek darah. Ternyata equivocal adalah nilai tengah-tengah. Tidak positif tapi juga tidak negative. Aku tambah penasaran bagaimana nanti dengan penjelasan dokter nih.. Deg-degan juga karena (menurut logika yang sok tauku), berarti virus itu ada ditubuhku walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak.
Setelah antri berjam-jam akhirnya dipanggil juga. Dan ternyata analisa ngawurku ga salah-salah amat. Menurut dokter memang betul ada virus rubella di tubuh saya. IGG menunjukkan kekebalan terhadap virus rubella dari infeksi yang lampau. Hasil negative pada IGG ini menunjukkan aku belum memiliki kekebalan terhadap virus itu. Sedangkan IGM menunjukkan infeksi yang sedang terjadi saat ini dan masih menunjukkan hasil equivocal. Menurut dokter nilai IGM ini mungkin akan meningkat karena saat ini virus masih dalam masa inkubasi. Aku langsung shock mendengarnya. Dokter itu seperti sedang menakut-nakutiku, dan perasaanku ingin menyangkalnya. Aku bertanya apakah perlu dites ulang, atau ada yang bisa kulakukan. Dokter Maya bilang tidak ada. Lemas rasanya. Seperti tidak punya harapan, satu-satunya harapan yang masih sedikit tersisa adalah berharap bahwa hasil tes itu tidak benar. Walaupun aku tau itu lebih banyak merupakan penyangkalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar