Rabu, 24 September 2014

Kehadiran putri istimewa...

Tanggal 27 Maret 2013 pukul 15.55 WIB, kudengar bayiku menangis, aku bersyukur Alhamdulillah bayiku menangis, karena kalau tidak menangis berarti ada masalah. Sebenarnya aku sangat ingin Inisiasi Menyusui Dini (IMD), tapi dokter Hartojo menyarankan untuk menundanya, karena kondisi bayiku ternyata tidak sepenuhnya baik. Dengan hari-hati dr Hartojo menjelaskan bahwa ada yang bising di suara jantungnya. Beliau juga bilang bahwa putriku sudah mempunyai 1 gigi mungkin karena terlalu banyak kalsium. Aku bisa memahami karena waktu hamil aku memang banyak mengkonsumsi kalsium dari 2 dokter.
Om Agus Priyono, suami adikku yang mengadzaninya setelah bayiku selesai dibersihkan. Saat aku di ruang recovery setelah operasi, suamiku baru datang dari Jakarta eteah bersusah payah mencari tiket dan bergegas dari bandara Juanda ke RSHU. Dia menemui saya dan sudah mengadzani bayi kami juga. Aku bertanya, bagaimana respon bayiku saat diadzani. Suamiku bilang responnya mencari, aku tidak tau memang betul mencari atau hanya tampak seperti mencari. Apabila memang mencari apa karena mendengar atau karena kulit telinganya merasakan bisikan. Yang jelas, saat itu aku bahagia atas kelahiran putri keduaku.

Selasa, 23 September 2014

Detik-detik sebelum kelahirannya...

Malam itu, tanggal 26 Maret 2013, masih 2 minggu sebelum hari perkiraan lahir (HPL), perutku terasa mulai tegang berkontraksi sepeti mau melahirkan. Masih jarang siy...Agak worry juga, karena suamiku sedang dinas di luar kota. Sebagai antisipasi, aku minta tolong adikku dan suaminya untuk menginap di rumah. Kali aja tengah malam nanti perlu ke rumah sakit. Siapa tahu??? Ternyata benar juga, malam itu aku sudah sulit tidur. Jam 3 pagi, aku ke kamar mandi dan sudah ada bercak darah salah satu tanda menjelang kelahiran.
Aku segera minta Mak Sari, emak yang sudah membantu mengurus rumah sejak kelahiran anak pertamaku Aira, untuk menyiapkan perlengkapan persalinan dan keperluan menginap di RS. Sebelumnya aku sudah menyiapkan perlengkapan bayi, perlengkapan ibu melahirkan dan baju-baju menyusui. Aku segera menelpon suamiku yang sedang di Jakarta untuk memberi tahu bahwa aku sudah mau berangkat ke RS karena sudah ada tanda-tanda akan melahirkan. Sebenarnya hari ini masih ada satu agenda tes lagi untuk seleksi penerima beasiswa tugas belajar dari Pertamina, perusahaan tempat suamiku bekerja. Dia memutuskan untuk segera mencari tiket untuk pulang ke Surabaya dengan resiko kehilangan kehilangan kesempatan mengikuti seleksi beasiswa itu.
Pukul menjelang pukul 6 pagi, aku minta adikku untuk mengantarku ke Rumah Sakit. Karena jarak cukup jauh dari Gresik ke Surabaya maka saya minta berangkat pagi-pagi untuk menghindari macet. Tidak lupa pengantar opname dari dr Didi juga aku bawa. Sesampainya di sana ternyata RS belum buka, sehingga harus lewat pintu belakang dan langsung ke lantai 10 untuk cek in kamar. Ternyata kamar kelas 1 yang menjadi hak inapku penuh, terpaksa masuk kelas 2 dulu, dimana ada pasien lain di kamar itu. Rasanya tidak nyaman, karena proses melahirkan melibatkan hal-hal yang sangat privacy.
Tapi tidak ada pilihan lain, karena siang hari rencananya akan ada kamar kelas 1 yang kosong. Sambil menunggu suamiku pulang dari Jakarta aku tunggu di kamar itu. Sampai siang hari kontraksinya sudah mulai sering, tapi suamiku belum juga datang. Dokter Didi memeriksa dan menanyakan apakah sudah siap untuk masuk kamar operasi. Aku bilang nunggu sebentar lagi dok, suami saya belum dating. Untunglah dr Didi sangat kooperatif dan saya dimina segera menghubunginya kalau sudah tidak kuat kontraksinya.
Suamiku baru dapat tiket untuk ke Surabaya untuk penerbangan jam 1 lebih itupun lewat calo (dengan nama orang lain). Padahal sudah mencari tiket dari pagi. Itu karena menjelang libur panjang maskapai banyak yang penuh. Padahal berapapun akan dibeli kalau ada tiket ke Surabaya lebih awal. Aku sudah mulai tidak kuat karena sudah kontraksi, padahal seharusnya tidak perlu nunggu kontraksi kalau rencana mau operasi. Akhirnya jam 1 aku minta ijin kepada suamiku untuk tidak lagi menunggunya jika memang sudah tidak kuat. Dan suamiku mengijinkan. Jam 2 aku memutuskan masuk ruang operasi. Dokter sempat bilang kok kuat sekali menunggu terlalu lama kontraksi. Meskipun sudah di kamar operasi, dr Didi sempat menyampaikan akan membantu persalinan normal jika memungkinkan. Akan tetapi setelah diperiksa intensif dokter memutuskan untuk tetap melaksanakan operasi itu.
Sakitnya kontraksi langsung hilang berganti perasaan ringan dan tenang setelah aku disuntik bius di punggung. Dalam hati, aku berdoa dan tidak berhenti berdoa agar operasi itu lancar, dan bayi yang kulahirkan sehat dan selamat.

Persiapan menyambut kehadirannya...

Memilih dokter dan rumah sakit dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan adalah realitas yang harus dihadapi. Aku mencari informasi tentang beberapa Rumah Sakit di Surabaya untuk mempersiapkan kelahiran anak keduaku yang istimewa. Banyak hal yang harus kupertimbangkan. Kenapa? Karena kehamilan kedua ini sungguh istimewa. Apa berarti kehamilan pertama saya tidak istimewa? tentu saja sama-sama istimewa. Karena hal sama juga kulakukan untuk kelahiran pertamaku, yang berbeda adalah dasar pertimbangannya.
Untuk persalinan kedua ini aku memilih untuk melahirkan dengan operasi caesar, tentu saja atas rekomendasi dari dokter yang menanganiku. Alasannya karena jarak dengan kelahiran pertamaku yang juga dengan caesar adalah belum 4 tahun. Sebenarnya aku bisa menyangkal Karena banyak juga orang-prang lain yang selisih kelahirannya belum 4 tahun tetapi bisa melahirkan dengan normal. Tapi aku sangat sadar dengan kondisi kehamilan keduaku ini yang tidak bisa disamakan dengan orang lain. Aku sangat mempertimbangkan hal itu.
Jauh di lubuk hatiku ingin juga melahirkan dengan proses normal, tapi keselamatan bayiku tentu saja prioritas yang lebih utama dibandingkan ego keibuanku yang belum tentu baik untuknya.
Kriteria pertamaku dalam memilih RS di Surabaya adalah fasilitas pelananan kesehatan untuk kondisi darurat. Ketersediaan instalasi NICU (Neonatal Intensive Care Unit) di RS menjadi salah satu kriteriaku. Fasilitas ini biasanya ada di Rumah Sakit besar. Fasilitas lain yang juga persyaratanku adalah skrining bayi risiko tinggi minimal untuk risiko dampak rubella saat kehamilan, yaitu pemeriksaan jantung, mata dan pendengaran. Kemudian aku perlu berkompromi dengan jaminan perusahaan yang bisa diberikan oleh perusahaan tempat suamiku bekerja.
Dari hasil penelusuranku melalui internet dan telpon ke bagian pelayanan masing-masing RS, ternyata dari beberapa RS yang menjadi mitra perusahaan suamiku, yang sudah ada fasilitas pemeriksaan mata Ret-cam adalah di RS Husada Utama. Lalu aku cek juga fasilitas pemeriksaan yang lain seperti pemeriksaan pendengaran dengan OAE dan pemeriksaan jantung dengan Echocardiography ternyata dapat dilakukan di sana. Akhirnya saya memantapkan hati untuk melahirkan di rumah sakit itu. Sayangnya, di akhir kehamilanku mulai awal tahun 2013 dr Frans sudah tidak berpraktek di sana, sehingga tidak dapat membantu proses persalinanku. Begitupun Prof. Agus. Aku terpaksa mencari dokter lain yang berpraktek di HU. Di antara beberapa dokter di HU aku memilih dr Didi Darmahadi Dewantoro, SpOG, yang merupakan Home Doctor di sana. Sebelumnya sudah kutelusuri testimony tentang beliau, cukup menguatkan. Paling tidak home doctor pasti akan lebih banyak standby di RS dan lebih mudah ditemui disana. Begitu juga dengan dokter anak yang akan menangani bayiku. Di sana ada dr Hartojo, SpA(K) yang berdasarkan testimony teman-temanku bagus. Dia juga konsern ke perawatan bayi resiko tinggi di instalasi NICU. Di sana juga ada dr Mahrus SpA(K) yang merupakan dokter anak yang pakar dalam menangani masalah jantung anak.
Mantap sudah keputusanku dalam memilih Rumah sakit. Suamiku mengamini dan segera berkonsultasi dengan dokter perusahaan untuk mekanismenya.

Jumat, 29 Agustus 2014

USG 4 Dimensi, semua terindikasi normal kecuali.......

Saat yang dinanti pun tiba, kehamilan ini sudah berumur 20 minggu. Aku menemui dr Frans di Total Life Clinic (TLC) di Jl Bogowonto, Surabaya untuk melakukan pemeriksaan terhadap kondisi janin. Sesuai anjurannya, alat USG 4 Dimensi di klinik ini menurutnya lebih baik dan beliau sendiri yang akan memeriksanya. Setelah antri berjam-jam, barulah dipanggil untuk pemeriksaan.
Pemeriksaan berlangsung sekitar 45 menit – 1 jam. dr Frans sangat detil memeriksa sembari menjelaskan tentang kondisi janin. Beliau memeriksa jantung, kondisinya normal, tidak ada kelainan yang tampak baik susunan maupun fungsinya. Lensa mata juga bersih, tidak ada indikasi katarak. Secara fisik, kondisi janin sempurna, tidak ada indikasi adanya kelainan bawaan. Dokter Frans juga memberitahukan bahwa bayi ini berjenis kelamin perempuan.
Dokter Frans bilang kondisi janin secara umum baik, jadi aku tidak perlu khawatir. Perkembangannya normal sesuai umurnya. Jantung dan mata bisa tidak menunjukkan indikasi kelainan. Hanya saja memang keterbatasan alat ini tidak dapat mendeteksi fungsi pendengaran. “Kalau organ telinga luarnya ada, tapi fungsinya kita belum bisa mengetahui” kata dokter Frans.
Sejak saat itu pencarian informasi yang kulakukan lebih fokus tentang penanganan gangguan pendengaran yang merupakan kemungkinan terburuk yang mungkin dialami oleh bayiku kelak. Aku memperoleh banyak artikel tentang gangguan pendengaran dan penanganan dininya. Saat itu aku mengetahui ada alat bernama cochlear implant. Bahwa ternyata sudah ada alat yang dapat membantu saat Alat Bantu Dengar sudah tidak lagi bermanfaat. Aku juga mempelajari aturan-aturan perusahaan terkait penanganan gangguan pendengaran. Semua itu membuatku semakin optimis menjalani kehamilanku, menanti kelahiran putri keduaku yang akan kami beri nama Almahyra.

Rabu, 27 Agustus 2014

Benarkah Rubella saat hamil tidak bisa diobati???

Rasanya tidak percaya, demam ringan yang tidak bisa dikatakan serius disertai ruam yang hanya sehari yang tidak begitu parah itu ternyata adalah campak jerman. Aku hampir tidak merasakan sakit. Tetapi membaca artikel tentang dampak yang mungkin ditimbulkan begitu mengerikan. Aku baca juga bahwa sampai sekarang belum ada obat untuk rubella yang aman diberikan pada saat hamil. Aku memerlukan penjelasan yang lebih mendalam terkait hal ini. Benarkah aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah virus ini memyerang janin yang sedang kukandung. Akhirnya aku berkonsultasi dengan dr Naning, dokter klinik perusahaan tempat aku bekerja, untuk mencari referensi dokter yang pakar dalam permasalahan ini. Dia menyarankan aku untuk ke dokter SpOG yang subspesialisasinya adalah Bidang Fetomaternal. Dia berjanji untuk memberikan nama dokter yang sesuai dalam beberapa hari. Sebagai orang awam aku mempercayakan masalah ini padanya.
Selang beberapa waktu dia memberikan nama dokter yang dia janjikan. Namanya adalah dr. Frans. Dokter Frans bukan orang asing bagi dr Naning karena merupakan teman kuliahnya dulu. Menurutnya, dr Frans adalah dokter yang cerdas dan sangat teliti. Dan memang benar terbukti dari beberapa kali sesi konsultasi dan pemeriksaan. Konsultasi pertama dengan dr Frans, di RS Husada Utama Surabaya. Beliau ada jadwal praktek sore setelah maghrib. Pada jam kerja, beliau berdinas tetap di RSAL Surabaya. Dengan mempertimbangkan jadwal kerjaku yang selesai jam 4 setiap hari, aku memilih untuk berkonsultasi di RS Husada Utama. Dengan hati-hati beliau menjelaskan tentang kondisi yang mungkin terjadi terhadap janin yang terserang rubella dalam kandungan pada trimester pertama kehamilan. Memang persentasenya secara medis sangat besar. Dokter Frans menjelaskan dengan sangat objektif. Aku tidak merasa ditakut-takuti, tapi juga tidak diberi harapan yang terlalu tinggi. Beliau mengatakan jika terinfeksi rubella pada kehamilan trimester pertama, maka kemungkinan besar janin yang ada dalam kandungan akan terdampak infeksi virus tersebut. Dampak yang paling sering muncul adalah pada trias rubella yaitu kelainan jantung, mata dan pendengaran.
Aku mengajukan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan kepada dokter sebelumnya. Apakah ada yang bisa kulakukan agar janin dalam kandunganku tidak terdampak oleh virus rubella. Atau mungkin sudah ada teknologi untuk mendeteksi dan mencegah penularan rubella ibu hamil kepada janinnya. Jawabannya ternyata sama saja. Dia hanya mengatakan dampak itu nanti bisa terlihat setelah bayi berusia 20 minggu, pada saat proses pembentukan organ itu telah sempurna. “Nanti bisa dilihat melalui USG 4 dimensi” imbuhnya.
Sampai saat ini, belum ada obat atau anti virus yang bisa menghentikan serangan rubella terhadap janin dalam kandungan. Anti virus yang ada memiliki dampak yang sama seriusnya dengan dampak rubella terhadap janin dalam kandungan. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah memonitor terus perkembangan janin secara rutin untuk memastikan janin tumbuh sebagaimana seharusnya sesuai umur kehamilan. Yang paling membuatku terkesan pada dr Frans adalah saat beliau mengatakan kepadaku tentang sesuatu yang belum sempat kupikirkan. “Bapak dan Ibu adalah muslim, tentunya percaya dengan takdir Tuhan. Jangan pernah berpikir untuk menghentikan kehamilan ini, karena janin ini sudah memiliki nyawa yang punya hak untuk hidup.” Begitu kira-kira nasihat dr Frans, naluriku dengan serta merta membenarkannya, meskipun aku pernah tau di beberapa negara telah melegalkan aborsi karena rubella.
Dokter Frans memeriksa kondisi kandunganku. Semua aspek yang penting diukur dan dievaluasi dengan alat Ultrasonography (USG). Ukuran, berat dan denyut jantung tidak lupa diperiksanya. Kesimpulannya perkembangan janin sampai saat ini normal, dan akan terus dipantau setiap bulannya. Aku bertanya, apakah cukup kontrol kehamilan sebulan sekali seperti hamil normal dengan kondisi seperti ini? dr Frans mengatakan cukup.
Aku tidak ingin lengah dengan virus jahat ini, selepas bertemu dengan dokter Frans aku masih mencari dokter pakar yang lain. Setelah beberapa lama googling di internet dan Tanya sana sini kepada orang yang memiliki masalah pada kehamilannya, aku menemukan nama Prof. Dr. dr Agus Abadi SpOG(K) yang berpraktek di Jl. Diponegoro, Surabaya. Setelah mendapatkan jadwal prakteknya, aku mendatangi Prof Agus untuk berkonsultasi. Beliau sudah terlihat sepuh mungkin lebih dari 65 tahun. Tutur katanya halus seperti orang Jogja atau Solo. Beliau konsultan yang sangat supportif dan menenangkan. Dengan sangat meyakinkan beliau memberiku penjelasan dan argumen-argumen yang memotivasiku, bahwa tidak selayaknya virus ini ditakuti. Karena memang tidak ada pengobatan yang bisa dilakukan terhadap virus ini, maka yang bisa dilakukan oleh seorang ibu yang hamil dengan virus ini harus kuat. Jangan mau kalah dengan virus ini. Beliau menghitungkan probabilitas seorang janin yang ibunya terinfensi rubella di trimester pertama kehamilannya. Menurutnya persentasi bayi lahir dengan kelainan karena rubella adalah 2 % saja. Angka itu beliau dapatkan setelah menghitung probabilitas berapa persen janin itu tertular , berapa persen janin itu terdampak dari penularan dan berapa persen janin itu dapat bertahan hidup dengan virus. Banyak virus lain yang dampaknya dilaporkan lebih mengerikan dari rubella.
Tidak berbeda dengan apa yang disampaikan dr Frans, beliau memotivasiku untuk kuat dan tetap tenang dalam melawan virus ini. “Tidak mudah menjadikan seseorang itu terlahir cacat, yang disengaja saja sulit, apalagi yang tidak disengaja seperti ini” imbuhnya. Pelajaran yang saya ambil dari Prof Agus adalah bahwa Allah lah Tuhan yang sepenuhnya mengatur kehidupan dan kematian manusia. Jika memang anak ini diciptakan untuk hidup pasti akan bertahan. Tapi jika tidak, janin itu akan luruh dengan spontan. Begitu seterusnya, aku mendatangi dr Frans dan Prof Agus setiap bulan masing-masing selang 2 minggu. Pengukuran objektif aku dapatkan dari dr Frans yang memang seorang sonographer dan motivasi aku dapatkan dr Prof Agus Abadi. Semua semata-mata hanyalah untuk meyakinkan kondisi janin termonitor dengan baik.
Sejak saat itu, kuputuskan untuk menjalani kehamilan ini dengan apa adanya, dengan keyakinan penuh bahwa tidak ada yang bisa menghalangi kehendak Allah SWT. Melaksanakan hanya yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang tua yang dititipi anak olehNya, berusaha sebaik mungkin mempersiapkan segala kemungkinan, termasuk kemungkinan terburuk.

Selasa, 19 Agustus 2014

Menemui Dokter Kedua...

BINGUNG !!! itulah yang kurasakan. Berkombinasi dengan sedih dan galau, benar-benar cukup membuatku hampir frustasi. Semakin banyak mengakses informasi tentang dampak rubella semakin stress yang kurasa. Aku masih tidak terima dengan vonis dokter yang hanya berdasarkan hasil equivocal (walaupun logika saya membenarkan penjelasannya). Aku putuskan untuk mencari pendapat dokter-dokter lain. Dokter itu harus lebih pintar daripada dokter Maya, pikirku. Saya mendatangi dokter Vita Maya, SpOG yang dulu menangani anak pertamaku, di RS Semen Gresik sela 2 hari dengan membawa hasil lab sebelumnya.
Saat mengantri dokter Vita, aku ketemu sama teman kantor yang hebis melahirkan di RS itu yang akan menengok bayinya yang masih harus tinggal di RS. Bayinya didiagnosis mengalami Down Syndrome dan ada kelainan jantung. Sontak aku jadi teringat dampak yang mungkin ditimbulkan oleh virus Rubella. Congenital Rubella Syndrome (CRS) begitu nama syndrome yang disebabkan oleh virus jahat itu. Organ yang paling sering diserang adalah jantung, mata dan pendengaran. Selain itu ada yang mengalami gangguan motorik dan juga mental. Waduh…tambah hancur rasanya hati ini..
Kudatangi bayi mungil itu..tumpahlah air mata ini melihatnya dibalik jendela kaca. Aku tidak menangis karena dia, karena aku betul-betul melihat ketabahan dan kebesaran jiwa kedua orang tuanya. Mamanya yang temanku itu bilang “jangan menangis tante… Z anak sehat dan pintar. Jangan menangis.” Begitu katanya… Mungkin dia tidak tahu, sebenarnya aku menangisi diriku sendiri, yang bisa jadi akan melahirkan anak yang berbeda dengan anak-anak yang lain. Berbeda, yang kini kuartikan sebagai istimewa.
Sambil tetap berurai air mata aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju klinik dokter Vita. Tidak lama setelah aku sampai dipanggillah antrian ke 10 atas namaku. Aku didampingi dokter perusahaan yang sudah kubuat janji untuk bertemu disana. Saat kutunjukkan hasil lab, enteng saja dokter itu bilang “tidak ada masalah apa-apa, hasil labnya bagus semua.” Ha????!!! Bukannya kegirangan, aku malah merasa aneh dengan penjelasan dokter itu. Bagaimana mungkin dua dokter membaca hasil yang sama dengan pandangan yang berbeda 180 derajad? Padahal sudah aku jelaskan kalau sempat muncul ruam dan saat itupun masih ada pembesaran kelenjar di belakang telinga yang mengindikasikan masih ada infeksi itu. Tentu saja aku tidak bisa membantah kata dokter, sehingga aku tanyakan apa perlu untuk tes lab ulang. Dia tidak terlalu menyarankan, tetapi dengan bantuan dokter perusahaan yang meyakinkannya, dia mau memberi pengantar laboratorium. Dalam hati, aku berkata "aku akan mencari dokter lain yang penjelasannya lebih bisa diterima oleh hati dan nalarku."

Senin, 18 Agustus 2014

Momok itu bernama Rubella...

Sore itu, sekitar awal bulan September hampir dua tahun yang lalu. Saat usia kehamilan 9 minggu, kondisiku memang masih lemah, mual yang hebat dan muntah-muntah adalah hal yang biasa di awal kehamilanku. Begitupun saat hamil anak yang kedua ini. Mual dan muntah karena kehamillan pun belum juga berkurang.
Suamiku pulang kerja dengan raut yang berbeda, wajahnya tampak memerah dan tampak kurang sehat. Hari sudah petang, sehingga tidak terlalu banyak waktu untuk bercerita tentang pengalaman seharian di kantor. Kami memang sama-sama bekerja di perusahaan milik pemerintah. Kami tinggal di Gresik, karena kantorku di kota ini. Sedangkan suamiku yang harus menempuh perjalanan sekitar 1 jam ke Surabaya setiap hari untuk ke kantornya. Namun itu sudah sangat kami syukuri, karena sebelumnya kami terpaksa harus menempuh pernikahan jarak jauh Gresik – Medan. Dia mengeluh kurang enak badan. Kupegang keningnya ternyata memang agak panas, lalu kusarankan untuk segera beristirahat. Aku segera menyusul untuk segera tidur disampingnya seperti biasa. Pagi hari, dia sudah siap-siap berangkat kerja, karena merasa sakitnya tidak parah dan masih bias ditahan. Tapi kemudian aku perhatikan wajahnya masih merah padam karena kulitnya memang agak gelap. Kulihat tangan dan lengannya merah, punggungnya pun begitu. Ada bintik-bintik yang mengelompok…lebih tepat disebut ruam. Aku segera menyarankan untuk ke dokter nanti setibanya di kantor. Dia mengiyakan.
Setelah suamiku berangkat kerja, giliranku mulai bersiap-siap berangkat ke kantor, saat aku mau mandi aku lihat di pahaku ada ruam yang mirip dengan suamiku itu. Hanya saja lebih tampak karena kulitku lebih terang. Tidak terlalu banyak memang, sehingga ku masih tidak berpikir apa-apa. Aku beraktivitas seperti biasa, dengan rutinitas muntah di pagi hari saat mandi. Sampai di kantor aku merasa kurang enak badan. Memang suhu badanku agak sumer (sedikit panas) dan semakin lama ruam di kulitku bertambah banyak. Ruam itu bertambah di tangan. Di lengan dan di paha juga bertambah banyak. Tiba-tiba aku teringat pernah baca tentang bahaya campak pada saat hamil. Hanya saja waktu itu aku belum tahu detil apa saja bahayanya. Segera aku putuskan ke dokter di klinik perusahaan.
Dokter curiga terhadap ruam merah di kulitku. Dia menduga bahwa itu adalah campak. Namun karena banyaknya jenis campak dia belum bisa memastikan secara spesifik dan menyarankan aku untuk memeriksakan darah ke laboratorium. Dia tidak memberiku obat maupun anti virus karena menurutnya kurang baik untuk kehamilanku. Baiklah, aku putuskan untuk mengunjungi dokter spesialis kandungan yang ada jadwal di malam harinya sekaligus memeriksakan darah di RS Rachmi Dewi. Maya Sri K, dr, SpOG. Begitu nama dokter yang berpraktek malam itu. Sang dokter mengernyitkan dahi, agak sedikit marah..”kok bisa sampai kena campak begini? “ tanyanya. Aku bilang suamiku juga kena sehari sebelumnya. Dokter curiga bahwa campak itu adalah campak jerman. Momok bagi ibu hamil yang biasa dipanggil RUBELLA. Kemudian, dia beri pengantar laboratorium untuk tes IGG dan IGM rubella.
Selang sehari setelahnya, aku kembali mengunjungi dokter Maya untuk mengkonsultasikan hasil laboratorium yang akan kuambil. Kuamnil dulu hasil laboratoriumnya, kemudian antri untuk konsultasi. Karena penasaran, diam-diam aku buka hasil labnya. Dan….hasilnya adalah IGG rubella negative, sedangkan IGMnya equivocal. Waduh..apa ini maksudnya? Aku juga tidak tahu. Sambil antri aku coba browsing tentang makna equivocal dalam hasil cek darah. Ternyata equivocal adalah nilai tengah-tengah. Tidak positif tapi juga tidak negative. Aku tambah penasaran bagaimana nanti dengan penjelasan dokter nih.. Deg-degan juga karena (menurut logika yang sok tauku), berarti virus itu ada ditubuhku walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak.
Setelah antri berjam-jam akhirnya dipanggil juga. Dan ternyata analisa ngawurku ga salah-salah amat. Menurut dokter memang betul ada virus rubella di tubuh saya. IGG menunjukkan kekebalan terhadap virus rubella dari infeksi yang lampau. Hasil negative pada IGG ini menunjukkan aku belum memiliki kekebalan terhadap virus itu. Sedangkan IGM menunjukkan infeksi yang sedang terjadi saat ini dan masih menunjukkan hasil equivocal. Menurut dokter nilai IGM ini mungkin akan meningkat karena saat ini virus masih dalam masa inkubasi. Aku langsung shock mendengarnya. Dokter itu seperti sedang menakut-nakutiku, dan perasaanku ingin menyangkalnya. Aku bertanya apakah perlu dites ulang, atau ada yang bisa kulakukan. Dokter Maya bilang tidak ada. Lemas rasanya. Seperti tidak punya harapan, satu-satunya harapan yang masih sedikit tersisa adalah berharap bahwa hasil tes itu tidak benar. Walaupun aku tau itu lebih banyak merupakan penyangkalan.

Jumat, 15 Agustus 2014

akhirnya aku mulai menulis...

Aku adalah seorang ibu dari seorang putri cantik yang tidak dapat mendengar di awal kehidupannya. Almahyra Shanum Kirani, adalah putri keduaku yang terlahir istimewa, lahir dengan gangguan pendengaran sangat berat pada kedua telinganya karena virus rubella saat di kandungan. Sebenarnya itu bukan alasan. Karena alasan sebenarnya adalah Tuhan ingin menjadikannya pendidikan yang berharga bagi orang tuanya. Rubella hanyalah caraNya menjadikannya demikian.
Sebenarnya, sudah lama sejak kelahirannya aku ingin menulis tentang perjalanan yang berharga ini. Namun baru kali ini aku punya waktu dan pikiran yang cukup longgar untuk menulis. Aku ingin berbagi tentang pengalaman yang tidak semua orang diberi kesempatan untuk merasakannya, yaitu memiliki anak dengan gangguan pendengaran sangat berat, yang sejak umur satu tahun lebih dua hari harus menggunakan alat cochlear implant untuk dapat membantunya mendengar dunia.
Walaupun kejadian-kejadian mula di blog ini sudah terjadi lebih dari setahun yang lalu, aku masih bisa mengingat hampir setiap detilnya. Rasanya memang tak mungkin untuk dilupakan, karena pengalaman-pengalaman ini sungguh istimewa. Aku menyimpannya di folder-folder otakku, yang kemudian kuberi judul : Menembus Sunyi Almahyra.
Aku ingin, suatu saat jika sudah besar nanti putriku akan menemukan catatan-catatan ini. Dia akan tau bahwa dia begitu dicintai, bahkan sejak sebelum dia dilahirkan. Walaupun tanpa membaca catatan ini pun, dia pasti akan tau karena itu akan sangat terasa dalam keseharian.
Untuk putri cantikku yang pertama, Aira...kamu tidak perlu iri dengan catatan ini. Karena pengalaman membesarkanmu sungguh tak kalah istimewanya dari ini. Melihatmu begitu menyayangi adikmu, adalah kebahagiaan yang luar biasa bagi Bunda